Menggapai Harapan
Senja itu Rahman duduk sendiri di depan teras rumahnya. Terlihat matanya begitu sayu. Sambil membolak-balik halaman demi halaman buku yang dibacanya, angin sepoi-sepoi yang menyapu indahnya petang itu tiba-tiba membuat Rahman tanpa sadar terkulai lemas, lesu seakan mau pingsan. Namun untunglah tidak terjadi. Sebab ia hanya sedikit lelah setelah terlalu lama membaca buku. Meski begitu ia terlihat kusut, kusam tanpa ekspresi keceriaan yang biasa ia perlihatkan didepan teman-temannya. Dalam keadaan seperti itu tidak lama kemudian ia tertidur setelah seharian membaca buku tanpa henti. Memang, buku yang dibacanya adalah buku favoritnya ketika ia masih kuliah dulu. Dan itu pun mungkin beberapa buku peninggalan kuliah yang masih dimilikinya. Sedangkan yang lainnya tidak tahu entah kemana. Selepas lulus dari kuliahnya, Rahman kini sering menghabiskan sisa waktu di rumahnya bersama keluarga, sambil berharap-harap cemas menunggu surat balasan dari beberapa perusahaan yang ia kirimi lamaran pekerjaan yang diminatinya. Tapi sayang, sampai sekarang belum satu pun perusahaan yang membalas kembali kiriman surat lamaran pekerjaannya. Di sisi lain, kehidupan kota metropolitan yang begitu keras dan menantang tidak bisa diabaikannya. Keras karena Jakarta adalah kota yang penuh tantangan bagi siapa saja yang ingin berhasil. Bagi siapa saja yang ingin mengakutalisasikan cita-cita, harapan dan mimpinya. Namun Jakarta juga dapat menjadi neraka bagi para looser atau orang-orang yang kalah sebelum berperang. Meski begitu, Jakarta tetaplah Jakarta. Kota impian yang selalu menjadi tujuan setiap orang. Karenanya tidak heran baik yang berhasil ataupun yang kurang beruntung sama-sama tinggal di Jakarta. Hanya saja mereka berbeda tempat tinggal. Bagi yang berhasil dalam meniti karir mereka tinggal di rumah-rumah mewah dan apartemen-apartemen elite. Sedangkan bagi yang kurang mujur mereka tinggal di perkampungan-perkampungan di pelosok-pelosok kota Jakarta. Ada yang mengontrak atau juga kost. Tapi yang lebih memprihatinkan lagi adalah mereka yang tinggal di kolong-kolong jembatan, gubuk-gubuk reot atau di lorong-lorong pasar dan pertokoan. Bahkan banyak juga dari mereka yang kemudian menjadi tuna wisma karena tidak punya tempat tinggal atau rumah. Memang, keberadaan mereka semakin menambah heterogenitas kota Jakarta. Akan tetapi sungguh disayangkan. Pemerintah Ibu Kota Jakarta tidak sekalipun pernah memperhatikan mereka. Justru mereka secara tidak langsung atau bertahap secara pelan-pelan diusir dari tempat tinggal mereka dengan dalih untuk menjadikan kota Jakarta yang bersih, asri, ramah lingkungan dan tentram. Lebih dari itu, di beberapa pasar di Jakarta yang menjadi tempat mencari nafkah orang-orang kecil itu dengan cara berdagang juga selalu dipindahkan. Dengan alasan mengganggu ketertiban lalu lintas. Di sekitar daerah Jembatan Besi-Jakarta Barat. Tepatnya di rumah susun lantai dua dengan ukuran 5x6 m, di sanalah Rahman tinggal bersama ayah dan ibunya beserta adik-adiknya. Meski dengan ukuran rumah yang begitu kecil dan sederhana, Rahman selalu terlihat ceria. Namun begitu sebenarnya dia dalam keadaan yang cukup dilematis. Ya, dilematis karena sampai saat sekarang ini ia belum juga mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya. Belum lagi ia harus memikul tanggung jawab keluarga sebagai anak sulung dari delapan bersaudara. Sementara itu ia pun dikejar usianya yang sudah tidak lagi muda (29 tahun). Sungguh ironis nasib yang Rahman alami. Walau demikian orangtuanya tetap bijaksana. Sebab menurut orangtuanya hal itu dianggap wajar. Apalagi Rahman baru saja lulus dari kuliahnya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekitar enam bulan lalu. Tapi tidak bagi Rahman. Ia mempunyai tekad tinggi untuk bisa membuktikan kepada orangtuanya. Agar biaya yang dikeluarkan orangtuanya tidak menjadi sia-sia. Itulah kira-kira pikir Rahman. Apalagi ia mempunyai teman-teman seperjuangan ketika kuliah yang selalu mendukung dirinya; Soni dan Awan. Merekalah yang selama ini selalu memberikan sesuatu yang terbaik bagi Rahman. Karena itu, Rahman merasa sangat bersyukur sekali mempunyai teman seperti mereka. Hanya mereka berdualah yang selalu mengingatkan tentang hal apapun yang ingin Rahman raih. Tidak hanya sekedar memotivasi, kehadiran mereka juga turut andil dalam menentukan hidup yang ingin diraihnya. Rahman pernah mengatakan hal itu kepada Soni. ‘’Son, andaikan gua gak pernah ketemu sama elo, mungkin gua gak pernah akan tahu arti hidup ini. Gua gak tahu kuliah gua bisa bener apa nggak. Sebab, pikiran gua saat itu; bisa kuliah aja udah syukur. Jadi, jalani aja hidup ini apa adanya. Gak mesti punya pikiran atau cita-cita yang muluk dan berlebihan’’. Soni hanya bisa diam mendengarkan penuturan temannya itu. Ia hanya bisa bilang, ‘’ya…sudahlah Man, kita kan teman. Jadi kita harus saling memberikan sesuatu apa yang kita bisa. Apalagi gua lihat elo punya potensi. ‘’Potensi…! Apa yang elo bilang tadi?’’(Tanya Rahman dengan nada terkejut). ‘’Po…o…otensi… Man’’, sahut Soni. ‘’Ah, masa sih Son’’. Rahman berkata seakan tak percaya. ‘’Gua gak percaya dengan apa yang tadi elo bilang barusan.’’ Kembali Rahman melanjutkan ketidakpercayaannya kepada Soni. ‘’Kalo begitu keadaannya, mau diapain lagi Man!. Lihat aja sendiri potensi yang elo miliki.’’ Soni mencoba menjelaskan. ‘’Man, gua lihat elo pintar berkomunikasi dengan setiap orang yang elo kenal—bahkan dengan orang yang belum kenal sekalipun. Elo aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (Sejarah Peradaban Isalam) waktu semester lima. Elo juga ikutan di Forum Studi Mahasiswa Sejarah Islam Indonesia (FORDIMASSI). Kemudian elo juga pernah menjadi ketua panitia di berbagai acara di kampus. Nah, itulah Man kenapa gua bilang begitu sama elo. Soalnya gua bisa lihat itu semua dari keaktifan elo. Cuma kadang gak elo sadari’’. ‘’O….ooo begitu ya Son. Gua baru nyadar Son. Thanks ya Son atas opini yang udah elo berikan tentang gua.’’ ‘’Ya sudahlah Man. Anggap aja ini sebagai stimulan buat elo.’’ Kembali Soni melanjutkan komentarnya tentang Rahman.. Tapi, setelah hari kelulusan itu, tampaknya Rahman sudah sangat jarang sekali bertemu dengan Soni. Jangankan jarang, sekalipun tidak pernah sama sekali. Itu baru dengan Soni. Bagaimana dengan Awan yang mungkin sudah terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai repoter di sebuah harian berbahasa Inggris The Jakarta Post. Mungkin terakhir kali bertemu dengan Awan ketika Soni sedang mengurus segala keperluan administratifnya untuk wisuda yang akan dilaksanakan bulan Maret 2005. Saat itulah mereka bertemu sambil mengobrol santai di sebuah kantin kampus dekat dengan gedung perkuliahan fakultas adab dan humaniora. Kantin itu adalah tempat dimana Rahman sering melakukan refleksi hingga kontemplasi tentang hidup yang dijalaninya. Karena itu, tidak salah jika kantin itu juga pada akhirnya menjadi tempat makan plus ngopi langganan Rahman—karena Rahman dengan para penjual makanannya juga sudah saling kenal. Ditemani softdrink dan makanan kecil mereka pun mulai saling bertukar pikiran. Biasanya mereka selalu membicarakan lembaga studi sejarah yang telah mereka dirikan. Tapi sayang, lembaga itu sekarang sudah tidak aktif lagi. Karena sebagain dari para pencetusnya sudah mulai banyak yang aktif bekerja di berbagai kantor perusahaan, Lembaga Swadaya Masyarakat, instansi pemerintah dan yang lainnya. Yang menarik dari teman-teman yang sudah bekerja itu adalah Awan. Mengapa? Sebab, meski ia sudah bekerja, ia selalu diliputi masalah yang sebenarnya tidak terlalu besar. Tidak terlalu besar karena memang tidak mesti dipikirkan. Ia selalu berpikir tentang berbagai hal secara filosofis dan fundamental. Karenanya, walaupun ia sudah menjadi reporter dan mendapat gaji yang cukup lumayan besar, hal itu tidaklah cukup membuatnya senang. Menurutnya, apa yang ia lakukan barulah pada tahap axiologis belum mencapai tahap ontologis. (itulah mungkin pertemuan terakhir Rahman dengan Awan). Sedangkan dengan Soni, kali terakhir bertemu ketika Rahman akan mengambil legalisir ijazah dan transkrip nilainya di kampus sekaligus sambil mengembalikan buku Soni yang dipinjamnya yang berjudul Filsafat Manusia. Buku itu dipinjam Rahman dengan harapan agar jawaban yang dicarinya tentang kehidupan yang dijalaninya bisa ditemukan dalam buku tersebut. ****** Hari-hari terus berlalu. Dentang jarum jam pun terus berputar. Sambil duduk di teras depan rumah neneknya yang cukup sederhana itu, Rahman kembali memulai aktifitas membaca bukunya. Rahman, tidak sekedar membaca sambil lalu. Tetapi, ia membaca sambil berpikir apa maksud narasi yang ada dalam buku yang ia baca. Sambil menyeruput kopi hitamnya yang masih panas, ia menerawang jauh ke depan melihat lalu lalang manusia dan hilir mudik kendaraan yang tiada henti. Saat menerawang itulah kembali terdetik dalam hati Rahman untuk sesegera mungkin mendapat pekerjaan. Sekarang, pekerjaan apapun akan dijalaninya. Yang penting pekerjaan itu mampu ia lakukan dan tentunya halal. Sekarang ia tidak lagi idealis seperti waktu ia kuliah. Tidak lagi egois yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Ia butuh pekerjaan bukan hanya karena tanggung jawabnya sebagai putera sulung dari Bapak Mahdi dan Ibu Zubaedah. Lebih dari itu, ia ingin membuktikan kepada teman-temannya kalau ia pun bisa berbuat sesuatu seperti halnya teman-temannya lakukan. Namun yang paling penting dari pembuktian itu (achievment), ia ingin bisa dilihat dan dapat membuktikan kepada Ibunya Asih yang telah menolak hubungan cintanya dengan Asih. Ya, karena Asih jualah Rahman begitu menggebu-gebu ingin dengan segera mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji yang sesuai dengan perkejaannya. Masih terngiang di telinganya perkataan ibunya Asih yang disampaikan lewat Asih. ‘’Kak Habib—sebagaimana ia dipanggil oleh Asih—mama tidak setuju dengan hubungan kita. Karena kak Habib belum lulus kuliah dan belum mendapat pekerjaan.’’ ‘’Ah, masa Sih. Kenapa ibunya Asih nggak setuju? Apa yang membuat ibu berpikiran demikian? Apakah Asih sudah memberi tahu ibu kalau nanti selesai kuliah, kak Habib akan langsung kerja.’’ (Rahman coba menjelaskan kepada Asih). ‘’Tetap gak setuju kak. Mama tetap gak setuju!’’ (Asih kembali menjelaskan dengan nada emosi). Kemudian Asih meneruskan penjelasannya. ‘’Kak, yang membuat mama gak setuju bukan hanya itu saja. Tetapi mama sudah membaca semua perangai, sikap dan sifat kak Habib. Meskipun nanti kak Habib sudah bekerja, kata mama, kak Habib cenderung malas-malasan dan harus selalu didorong untuk maju. Apalagi kak Habib anak pertama dan adiknya banyak. Begitu juga Asih, adiknya banyak. Bagaimana nanti bisa menghidupi keluarga dan saling berbagi kalau kedua keluarga kita tergolong keluarga besar. Itu gak mungkin kak. Itu gak mungkin…’’, nafas Asih agak tersendat-sendat karena tidak kuat menahan emosi kesedihan yang meluap dari dalam hatinya. Ia tidak kuasa lagi harus berbuat apa terhadap realitas yang ia hadapi. Mendengar itu semua, Rahman menjadi terkejut dan tersedak nafasnya menahan perasaan yang amat menyakitkan hatinya. ‘’Gak mungkin Sih. Gak mungkin. Kenapa begitu jauh penilaian ibu terhadap kak Habib? Padahal, kak Habib sungguh-sungguh akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa membahagiakan Asih dan keluarga. Tapi jika kenyataannya seperti ini, berarti semua orangtua sama saja. Melihat seseorang bukan dari potensi dan hatinya. Tetapi yang dilihat adalah, sudah kerja apa belum dan gajinya berapa. Tidak jauh beda, orang kaya dan orang miskin sama saja!’’ (Rahman mengeluh kesal dengan kenyataan yang ia hadapi). ‘’Terus bagaimana dengan kita?’’ Tanya Rahman. ‘’Asih tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas Asih sekarang sedang kalut. Apa yang harus Asih lakukan agar tidak menyakiti kedua belah pihak. Disatu sisi Asih ingin taat dan patuh kepada ibu dengan menuruti kenginan ibu. Namun disisi lain, Asih tidak bisa melepaskan cinta Asih begitu saja’’. ‘’Terus kalau bapak bagaimana?’’, Tanya Rahman. ‘’Kalau bapak sebenarnya tergantung Asih, kak. Cuma, semua yang menentukan segala sesuatunya di rumah itu, ya ibu. Karena, ibulah yang mempunyai pengaruh dalam keluarga kami (Asih) kak. Berkat ibu pula bapak mau mencari nafkah dengan sungguh-sungguh.’’ (Asih kembali menjelaskan pertanyaan Rahman). ‘’Ya sudah, kalau udah kayak begini bagaimana lagi?’’, Rahman sangat kesal dengan semua penjelasan Asih. ‘’Asih gak tahu kak. Asih nggak tahu….u…u….u. (air mata dari kedua pelupuk mata Asih pun akhirnya keluar dengan derasnya). Itulah ingatan Rahman akan Asih yang masih berbekas sampai saat ini. Sementara itu, Awan yang bekerja sebagai reporter di Harian The Jakarta Post, malah melakukan perbuatan yang tidak semestinya. Perbuatan yang seharusnya ia sadari itu adalah salah. Ya, sekarang ia sudah berselingkuh dengan teman seprofesinya di kantornya. Padahal disaat Rahman ingin mendapatkan sejatinya bersama Asih (namun kandas), sebaliknya Awan justru mempermainkan cinta sejatinya bersama Lidya. Sekarang Awan sudah tidak lagi bersama Lidya, melainkan dengan Rina. Awan sendiri sebenarnya bingung. Sebab ia dihadapkan pada dua pilihan; Rina atau Lidya. Tapi, sayangnya ia ingin keduanya. Namun, namanya perempuan, meski laki-lakinya pintar dan cerdas, perempuan tetap tak ingin diduakan. Atas dasar pertimbangan itulah akhirnya secara tidak disangka-sangka Awan ternyata lebih memilih Rina. Mungkin Rina lebih bisa ketemu tiap hari ketimbang Lidya. Memang Awan pernah berkata kepada Soni kalau ia sayang kepada keduanya. Tapi Awan menjawab dengan jawaban yang agak emosi. Sebab saat itu Soni berkata sesuatu hal yang mungkin dianggap Awan sebagai hal yang sangat privacy. Soni berkata kepada Awan ‘’Wan, jadi orang jangan plin-plan dan ragu-ragu. Ambil keputusan yang tepat. Jangan permainkan Lidya dan Rina. Jangan-jangan….kalau elo nanti udah kuliah di Amerika terus ketemu dengan perempuan yang bisa membuat elo safe ketika elo lagi stuck, elo juga jatuh hati kepadanya. Dan begitu seterusnya’’. Kemudian Awan menjawab ‘’ya nggak lah Son. Itu tidak akan pernah terjadi lagi.’’ ‘’Jadi dengan Rina nih serius?. Terus kapan dong marriage nya’’, Soni kemudian mencandainya. ‘’Ah, gua juga gak tahu Son. Rina buat gua atau bukan. Gua aja masih mencari cinta yang sebenarnya….’’ (Jawab Awan dengan nada penuh kebimbangan). Soni pun kembali merespon Awan. ‘’Jadi elo sama Rina nggak serius dong!’’ (Tidak lama kemudian, dengan nada yang agak sedikit emosi, Awan kemudian balik bertanya kepada Soni). ‘’Heh, Son coba elo andaikan bagaimana jika perasaan elo sama Linda saat itu diterima dan pada saat yang bersamaan elo ketemu sama Sukma. Bagaimana? Siapa yang bakal elo pilih…!’’ Sekejap Soni terdiam. Ia berpikir sejenak; mengapa Awan mengungkit-ngungkit masa lalu. Padahal itu sudah lama aku lupakan, gumamnya dalam hati. ‘’Wan, nggaklah. Aku tetap sama Sukma. Lagian yang elo tanyain itu andaikan. Sedangkan realitasnya tidak begitu.’’ Awan terlihat sangat gerogi dan cukup nervous, akhirnya ia pun berkata, ‘’tuh …kan elo aja bingung gak bisa jawab. Malah berdalih realitasnya tidak demikian. Lagian, kenapa sih orang selalu menanyakan privacy gua.’’ ‘’Ya udah gua minta maaf sama elo jika itu udah nyakitin elo. Gua gak ada maksud kesana’’, Soni pun langsung mengalah tanpa meneruskan obrolannya dengan Awan. Lidya yang kini sudah tidak lagi berhubungan dengan Awan, belakangan ini sering singgah ke kost-annya Soni. Kepada Soni lah Lidya sering menumpahkan rasa sakit hatinya terhadap Awan. Sakit hati yang terlalu dalam. Karena, hubungan yang sudah dijalaninya sekian tahun sejak awal perkuliahan hingga lulus, semua teman, sahabat dan keluarga dari kedua belah pihak sama-sama sudah mengetahui kalau mereka berdua, Awan dan Lidya akan segera menikah setelah lulus kuliah. Namun realitas ternyata berkata lain. Ketika Awan akan memutuskan memilih siapa, ternyata Awan lebih memilih Rina. Hancur rasanya perasaan Lidya saat itu. Pada saat Lidya bercerita tentang hal-ihwal sikap Awan terhadapnya kepada Soni, Lidya pun menangis sejadi-sejadinya. Soni hanya diam tidak bisa berbuat apa-apa. Soni hanya berpesan ‘’Lidya, sudahlah. Hal itu tidak mesti ditangisi. Tidak perlu diratapi. Kalau memang Awan yang salah, toh nanti juga ia akan mendapatkan balasannya. Dan kamu harus yakin, dibalik semua ini pasti ada hikmahnya. Entah dengan diterimanya lamaran pekerjaan kamu yang udah kamu kirim atau yang lainnya. Selain itu, setiap cobaan pasti akan bisa dilalui oleh semua orang yang menghadapinya. Tidak lama beberapa bulan setelah Lidya sering bercerita tentang sakit hatinya, sekarang Lidya sudah terlihat ceria lagi. Sekarang Lidya sudah bekerja di sebuah LSM Perempuan. Kebetulan Lidya ditempatkan di Depok. Jadi kalau pulang ke Depok, Lidya biasanya singgah dulu di kost-an Soni atau soulmatenya Soni, Sukma kebetulan kost-an Sukma dan Soni hanya berjarak sekitar 30 meter. Hampir setiap kali datang, Lidya selalu membawakan oleh-oleh (makanan ringan/ kue-kuean) untuk Soni dan Sukma. Namun terkadang sering juga mentraktir Soni dan Sukma. Pernah suatu ketika Soni berkata kepada Lidya, ‘’Lidya, benarkan sekarang. Setiap persoalan atau musibah yang menimpa kita pasti akan ada hikmahnya. Sekarang terbukti kan….aku gak nyangka lo kalau Lidya akan seperti sekarang ini’’. ‘’Iya nih Son. Aku juga gak nyangka nih’’, Lidya mencoba meneruskan perkataan Soni. ‘’Son, makasih ya atas masukan-masukan yang selama ini kamu kasih’’.(Lidya berkata demikian karena merasa Soni lah yang sangat berjasa dalam mengembalikan ketenangan batin dan kepercayaan dirinya). Sementara itu Sukma hanya tersenyum malu ketika Lidya mengatakan sesuatu kepada Sukma, ’’Sukma…, kamu sungguh beruntung punya cowok seperti Soni. Sebab, sangat jarang sekali cowok sekarang yang seperti Soni. Sampe aku sempet bilang kalau Soni kayak malaikat’’. Sukma pun menjawab,’’ iya kak. Tapi jangan diterusin kak. Nanti orangnya (kak Soni) kegeeran lagi. ****** Pagi-pagi sekali Soni sudah terlihat jalan keluar menyusuri tiap pojok jalan yang ada di sekitar kampus UIN Jakarta. Hal itu sudah biasa ia lakukan hampir setiap hari. Karena menurutnya, jalan-jalan di pagi hari itu sangat bagus untuk kesehatan. Apalagi di daerah sekitar Jadebotabek (Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi) itu sudah susah sekali mendapatkan udara sejuk, segar dan menyehatkan jika sudah beranjak siang hari. Makanya, Soni berusaha untuk bisa berolahraga kecil di pagi hari setiap hari. Kecuali hari minggu. Ia akan lari ke kampus II UIN Jakarta yang terletak dekat dengan tempat wisata Situ Gintung Jalan Kertamukti Desa Pisangan, Kelurahan Cirendeu-Ciputat. Di sanalah pusat olahraga bagi masyarakat sekitar Desa Pisangan. Jika dirasa sudah cukup, Soni biasanya akan mengikuti senam dengan peserta yang lainnya. Berbeda dengan Awan dan Rahman. Nasib Soni bisa dikatakan ‘’tanggung’’. Tanggung karena ia sudah mendapat pekerjaan, tapi dengan gaji yang tidak jelas. Bahkan tidak digaji sama sekali. Meskipun mendapatkan uang, itu pun ia harus minta kepada atasannya. Selepas lulus kuliah, Soni mencoba mengabdikan diri dengan membantu menangani dan mengurusi naskah-naskah karyanya Bapak Agung Laksana yang sekiranya akan diterbitkan. Bapak Agung Laksana adalah dosennya Soni ketika Soni masih aktif kuliah. Jabatan Pak Agung Laksana adalah Pembantu Dekan I Fakultas Adab dan Humaniora. Dari semula Pak Agung Laksana memang sudah membicarakan soal salary kepada Soni. Hanya saja pada saat itu sebenarnya Soni bingung dan ragu diterima atau tidak tawaran Agung tersebut. Namun karena Soni ingat ucapan orangtuanya, akhirnya Soni pun menerima ajakan dosennya itu. Memang, ayah dan ibunya pernah berpesan ‘’jika dosen kamu mengajak atau menyuruh kamu bantu-bantu dia, kamu ikut saja. Yang namannya berhasil itu kan butuh proses dan perjuangan. Dan semuanya itu harus memulainya dari bawah (dari nol)’’. Memang, Soni lebih beruntung daripada Rahman. Tapi masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Awan. Apalagi dari segi penghasilan. Awan sekarang sudah bisa mengkredit motor barunya. Sedangkan Soni, untuk kebutuhan makan sehari-harinya masih tidak jelas. Tapi, itulah Soni. Ia masih saja bisa bersabar dan menjalani semuanya dengan baik. Sebab ia meyakini kalau Tuhan akan memberikan kebaikan yang setimpal atas kesabaran dan keikhlasan hamba-Nya. ****** Siang itu masih terasa sejuk. Padahal jarum jam sudah menunjukkan angka 12.00. Deru suara air laut di pinggir pantai saling berkejaran menuju daratan. Daun-daun jatuh berguguran dari pepohonan yang ada di luruh kota Amsterdam. Saat itu memang sedang musim gugur di Amsterdam. Meskipun begitu, Soni terlihat sangat sibuk dengan berbagai urusannya yang hampir datang setiap hari. Ada berbagai proyek proposal yang harus ditandatangani dengan segera. Salah satu proposal yang ditandatangani oleh Soni itu adalah proposal penelitian mengenai Perkembangan Islam di Indonesia Pasca Disintegrasinya Aceh, Maluku dan Papua. Soni sangat serius sekali mempelajari proyek itu. Karena selain berkaitan dengan sejarah, penelitian yang diangkat itu juga sangat aktual bagi masyarakat Indonesia yang kembali harus bersedih karena kehilangan beberapa propinsinya. Terpisahnya Aceh, Maluku dan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia disebabkan kurangnya perhatian dan kepeduliaan pemerintah dalam pembangunan yang sungguh-sungguh di tiga propinsi tersebut. Apalagi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sudah cukup riskan. Bahkan sebagian besar sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah Republik Indonesia. Ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah itu bisa dilihat dari kinerja pemerintah yang pada saat itu juga belum menuai hasil yang diinginkan masyarakat. Koruptor-koruptor kelas kakap dibiarkan tidak ditangkap, pengusaha-pengusaha bandar judi dan prostitusi bebas berkeliaran menjalankan operasinya. Sedangkan penegakan hukum masih jauh dari memuaskan. Justru sebaliknya, hukum hanya dijadikan sebagai dagelan politik belaka, yang salah jadi benar, yang benar jadi salah. Karena, walaupun banyak para penjahat, koruptor, penjudi yang ditangkap oleh polisi, tetapi itu hanyalah baru penjahat-penjahat kelas terinya saja. Sedangkan kelas kakapnya tidak akan pernah diseret ke pengadilan. Oleh sebab itu adalah wajar kiranya jika Aceh, Maluku dan Papua akhirnya memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia. Dengan terpisahnya ketiga propinsi itu berarti ketiga propinsi tersebut sudah mengikuti jejak Propinsi Timor Timur tahun 1999. Sedangkan Aceh, Maluku dan Papua mulai memisahkan diri sejak tahun 2006-2009. Dengan penelitian itu, berarti Soni harus pulang terlebih dahulu ke kampung halamannya di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Soni tersebut merupakan penelitian untuk disertasinya di Amsterdam University, selain memang penelitian itu juga adalah bagian dari proyek kerjasama penelitian sejarah antara lembaga studinya ,Institute for Asian Studies (IAS), tempat ia bekerja dengan Ford Foundationnya Belanda. Soni sekarang memang sudah tinggal dan hidup di Belanda. Ia hidup bersama isterinya, Sukma beserta kedua anaknya, Umami Fauzi dan Ratih Purnama. Walaupun sudah lama tinggal di Belanda sejak pertengahan tahun 2006 sampai dengan sekarang tahun 2013, Soni tetaplah tidak berubah seperti dulu. Ia tetap baik, rajin ibadah dan selalu santun dan suka membantu terhadap siapapun yang membutuhkan bantuannya. Ternyata, nasib yang lebih baik juga akhirnya menaungi Lidya kembali. Tidak kalah dengan Soni yang bekerja di IAS dan sambil melanjutkan studinya di Amsterdam University, Lidya yang tetap aktif di lembaga studi perempuan (PEREMPUAN), ia sekarang juga sedang mengambil program doktoralnya di Australia. Tepatnya di Monash University. Dan tentunya dalam menggarap disertasinya nanti ia akan mengangkat isu-isu tentang perempuan pasca disintegrasi. Sedangkan Rahman sekarang sudah terlalu disibukkan dengan berbagai kegiatan kantornya. Ya, sekarang Rahman sudah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Kebudayaan dan Kepariwisataan Pusat (di Jakarta). Ia ditempatkan di bagian penelitian dan pengembangan kebudayaan. Tidak mau kalah dengan yang lainnya, selain tetap terus bekerja sebagai peneliti kebudayaan di departemennya, dengan diam-diam Rahman juga sedang akan melanjutkan studi doktornya di Amerika. Tentunya ia akan mengambil studi kebudayaan yang memang sudah menjadi special interest-nya. Dan Rahman pun sekarang sudah mempunyai dua putera, Ruslan al-Rahman dan Habib al-Rahman. Dengan isterinya yang begitu setia dan selalu patuh kepada suami, Dede Kurniasih. ****** Hujan terus mengguyur bumi Tangerang. Sesekali gemuruh angin kencang datang. Di sebuah rumah agak besar namun sederhana, tinggallah Awan di sana seorang diri. Dengan ditemani cahaya lampu neon yang agak redup, di malam yang cukup sunyi dan hening itu, Awan masih seperti yang dulu, selalu dan selalu membaca buku. Tapi sayang, keadaan Awan tidak seperti tujuh atau delapan tahun yang lalu. Sekarang Awan tidak lagi menjadi seorang reporter The Jakarta Post. Tidak lagi bersama Rina. Sedangkan orangtuanya sudah tiada empat tahun yang lalu. Dan saudara-saudaranya memilih tidak tinggal bersamanya. Kakak dan adik-adiknya memilih tinggal jauh dari Awan. Mengapa semua saudara-saudaranya meninggalkannya seorang diri? Hal itu disebabkan keangkuhan dan keegoisannya yang selalu keluar dari pekerjaannya. Dan selalu ingin mengejar cita-citanya untuk studi di Amerika. Padahal saat itu, yang baru bekerja hanya Awan, sedangkan yang lain belum selesai sekolah dan kuliahnya. Ayahnya yang hanya bekerja sebagai tukang servis piano dan pembuat piano yang otodidak tidak mempunyai pendapatan yang jelas. Tetapi sayang, Awan tidak melihat keadaan keluarganya yang seperti itu. Malah ia selalu berbuat yang sama; sudah diterima bekerja sebagai reporter, baru setahun kemudian keluar lagi begitu seterusnya. Yang pada gilirannya, setiap kebutuhan keluarganya tetap saja yang menanggung Ayahnya. Sebab, dengan sikapnya (Awan) yang demikian (sudah bekerja terus keluar lagi), pada gilirannya ia mendapatkan akibatnya; tidak lagi bisa bekerja sebagai reporter di media-media massa kelas tinggi di Indonesia. Disebabkan kinerjanya yang malas-malasan, kadang masuk-kadang tidak. Belum lagi Rina. Rina akhirnya memutuskan Awan. Karena Awan dinilainya terlalu ambisius, egois dan keras kepala. Terkadang maunya menang sendiri. Dan tidak pernah berpakaian rapi. Padahal usianya terus bertambah dan bukan masanya seperti awal-awal dulu ia bekerja sebagai reporter. Pakaiannya selalu kumal, lecek dan tidak pernah memperhatikan performance-nya sendiri. Dan dari itu semua, bisa jadi semua yang telah menimpa Awan merupakan akibat dari perbuatannya sendiri beberapa tahun yang lalu. Saat dia masih berada di atas jenjang karir yang kemudian memutuskan tali cintanya bersama Lidya dan akhirnya jalan bersama Rina. Sekarang Awan hanyalah seorang guru honorer di beberapa sekolah swasta dengan gaji yang jauh dari minim; 1 juta rupiah dalam sebulan. Dengan pola hidup yang sudah meningkat dari tujuh-delapan yang lalu, gaji yang diterima Awan tentu tidaklah cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sebab, dalam kehidupan sekarang ini, tahun 2013, gaji tetap seorang pegawai paling minimal adalah 13 juta rupiah. Sedangkan upah buruh perusahaan paling kecil adalah 7 juta rupiah. Jadi apa yang dialami Awan sekarang sungguh terbalik 180 derajat dibandingkan dengan delapan tahun yang lalu.