Batubara, Energi Alternatif Pengganti BBM
Konsumsi batu bara terbesar adalah pembangkit listrik (75%) karena semakin meningkatnya kebutuhan listrik terutama di bidang industri. Pemerintah menempuh kebijaksanaan dengan menggalakkan pemakaiaan batubara sebagai prioritas utama dalam pembangkit listrik oleh PLTU, dan juga sebagai bahan bakar utama dalam industri berat seperti baja dan semen. Himbauan tersebut dikeluarkan oleh presiden RI pada tahun 1976.
Total sumber daya batubara sampai tahun 1994 mencapai 36,5 milyar ton, yang tersebar di Sumatra sekitar 24,7 milyar ton (68%), di Kalimantan sekitar 11,6 milyar ton (31%) dan sisanya 0,2 milyar ton (15%) terdapat di Jawa Barat, Sulawesi dan Irian Jaya (BAPPEBTI-CIDES, 2002). Pada bulan Maret 2003, PT Tambang Batubara Bukit Asam dan New Energy and Industrial Technology Devolepment Organization (NEDO) Jepang, menemukan sumber cadangan batubara sebesar 230 juta ton di Kungkilan Timur, Sumatra Selatan. Maka, ketersediaan sumber daya batubara dibandingkan dengan kebutuhannya di masa mendatang tidak menjadi masalah yang mengkhawatirkan. Sayangnya pengelolaan baatubara tak dilakukan oleh generasi muslim negeri ini, namun diserahkan kepada pihak asing yang tak jelas arahnya.
Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah lingkungan, terutama kandungan sulfur sebagai polutan utama. Hal ini disebabkan oleh oksida-oksida belerang yang timbul akibat pembakaran batubara tersebut sehingga mampu menimbulkan hujan asam. Sulfur batubara juga dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida belerang merupakan hasil pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma masakan atau minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara (briket), sehingga menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman, serta berbahaya bagi kesehatan (pernafasan). Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui desulfurisasi batubara.
Alternatif yang paling aman dan ramah terhadap lingkungan untuk desulfurisasi batubara adalah secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur, sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi. Hanya saja, penelitian terbaru mengenai kedua mikroba ini tidak dilakukan di negeri kita yang kaya akan sumber batubara, namun dilakukan oleh orang-orang Israel, yang cepat atau lambat akan memanfaatkan ladang emas hitam ini.
Desulfurisasi batubara secara mikrobiologi dengan menggunakan kedua bakteri tersebut memiliki beberapa kelebihan, dibandingkan desulfurisasi secara kimiawi, yaitu lebih efisien, ekonomis dan ramah lingkungan. Selama ini, memang telah dilakukan beberapa penelitian mengenai desulfurisasi batubara, tetapi hasilnya masih kurang optimal. Diharapkan dengan adanya desulfurisasi batubara, dapat mengurangi kadar sulfur batubara, dengan tujuan setidaknya dapat mengurangi polutan sulfat di lingkungan, mengingat batubara sebagai energi alternatif pengganti minyak bumi dimasa mendatang.